Apa
jadinya jika guru-guru non-PNS di seluruh Indonesia semuanya mengundurkan diri?
Sekolah dan madrasah di seluruh tanah air tentunya akan mengalami masalah yang
serius. Karena memang selama ini merekalah yang telah memberikan kontribusi
bagi eksistensi sekolah. Diakui atau tidak sekolah banyak berhutang budi pada
guru pengabdian yang ada masih mengikhlaskan diri mengajar walaupun dengan
bayaran yang seadanya.
 |
Tolong hentikan adanya diskriminasi guru |
Di
Sekolah Negeri, posisi dari guru non-PNS sepertinya kurang mendapat perhatian. Guru
pengabdian atau guru non-PNS sungguh luar biasa dan patut diacungi jempol
karena mereka adalah guru serba bisa dan selalu siap mobile mengurusi sekolah
di mana mereka mengajar. Saking luar biasanya mereka menjadi objek dari
otoritas sekolah untuk sendiko dhawuh mengiyakan perintah atasan. Ketika guru
PNS berhalangan dan tidak masuk mengajar, guru Wiyata bhakti menjadi tameng
atau pengganti yang menggantikan guru PNS mengajar. Yang paling keterlaluan
adalah fenomena ini justru intensitasnya tinggi, artinya mereka guru PNS
memanfaatkan keberadaan guru pengabdian atau Wiyata bhakti menggantikan mereka
mengajar, sedangkan mereka(guru PNS) sering izin tidak mengajar.
Di
SD X (tidak disebutkan) contohnya yang menjadi Bendahara Bos adalah dari guru non
PNS, sedangkan guru Negeri justru angkat tangan untuk mengelola BOS. Mengelola BOS,
menjadi Bendahara BOS menghabiskan waktu, tenaga, pikiran yang melelahkan namun
ironis memang guru PNSnya tidak bersedia menjadi bendahara padahal merekalah
yang sudah bergaji layak, lantas mengapa guru pengabdian yang diajdikan tumbal,
tidak masuk akal mereka hanya diberi insentif hanya 50 ribu perbulan. Ini tidak
sebanding dengan tanggung jawabnya sebagai bendahara BOS.
Di
sekolah negeri, terutama di lingkungan Dinas Pendidikan, Guru pengabdian tidak
pernah ditunjuk menjadi Pembina Upacara. Pembina Upacara diamanatkan hanya
untuk guru yang sudah PNS. Sebuah diskriminasi nyata dan adanya pembedaan yang
memandang sebelah mata guru-guru non-PNS. Bagaimanapun mereka adalah guru yang
sudah professional, bukankah mereka sudah menyandang gelar Sarjana pendidikan
tetapi masih saja terpinggirkan hanya karena status non-PNS.
Tunjangan
sertifikasi contohnya, di Sekolah Negeri, lebih memprioritaskan guru-guru PNS
yang sudah bergaji. Adapun guru pengabdian terpinggirkan tidak bisa memperolah
jatah sertifikasi. Aneh bin ajaib, guru PNS yang sudah bergaji malah
didahulukan sedangkan guru non PNS tidak dihiraukan sama sekali. Tidak hanya
tunjangan sertifikasi, dalam hal bantuan beasiswa melanjutkan S1 misalkan,
lebih mengutamakan guru PNS daripada guru Wiyata bhakti, guru wiyata bhakti
tiada mendapatkan bantuan beasiswa melanjutkan kuliah S1. Padahal jelas-jelas
dari pusat bantuan beasiswa diperuntukan untuk guru-guru baik non PNS maupun
yang PNS, lantas kenapa pada praktiknya hanya diperuntukan guru PNS yang
notabene sudah bergaji. Guru non-PNS semakin menderita jika diibaratkan sudah
jatuh tertimpa tangga plus tidak ada yang menolongnya.
Di
lingkungan UPTD Kecamatan misalnya, diskriminasi guru sangat
terlihat jelas sekali. Pegawai-pegawai di UPTD kurang respect dengan
para guru Pengabdian. Ini adalah fakta dari cerita para guru pengabdian di
Kecamatan tulis khususnya. Selama ini mereka para guru non-PNS kurang mendapat
pelayanan yang layak, pegawai-pegawai UPTD tidak friendly, namun ketika
yang datang guru PNS cs, mereka sepertinya bersikap bersahabat welcome. Ini
sungguh terlalu.
Diskriminasi
yang selanjutnya adalah, ketika guru PNS mutasi atau mengundurkan diri dari instansi atau unit kerja yang lama, ada semacam acara perpisahan dan ceremonial
namun hal ini tiada terjadi pada guru yang berstatus non PNS, guru non PNS adalah
guru yang datang dan pergi tanpa diperhatikan. Rasa hormat dan respect untuk
Guru non PNS tidak ada. Mereka tiak dianggap. Di Lingkungan sekolah Negeri,
keberadaan guru wiyata bhakti tidak diperhitungkan padahal dengan adanya
merekalah sekolah bisa hidup, coba lihat saja tenaga-tenaga muda yang
berpotensi, yang memiliki kemampuan akademik, kemampuan IT yang mumpuni, yang
energik yang memberi kontribusi besar bagi sekolah meskipun dengan bayaran yang
tidak layak. Ironis, mereka hanya dijadikan sapi perahan, habis manis sepah
dibuang.